“Sebelum transaksi, kami sudah cek legalitas lahan. Kami juga punya kesepakatan pembagian Pendapatan Asli Desa (PAD) sebesar 20 persen dari hasil sawit yang bisa ditanam. Tidak ada perambahan atau alat berat yang turun. Semua kami awasi,” ujar Nasir.
Kades Akui Keterbatasan, Singgung Proyek Lahan Simpang Cabit
Sementara itu, Kepala Desa Kubu, Hermawanyah, menjelaskan bahwa pihaknya terbatas dalam menangani persoalan desa, terutama karena Dana Desa tidak bisa digunakan untuk pembangunan rumah ibadah dan sekolah. Ia menyatakan telah berupaya mencari solusi alternatif, termasuk memfasilitasi akses lahan bagi pengusaha lokal seperti Aliyah di Simpang Cabit yang mengklaim memiliki lahan seluas 500 hektar.
“Kami upayakan agar lahan APL tersebut bisa dimanfaatkan warga dan memberi kontribusi PAD. Kami melibatkan kelompok tani dan perangkat terkait dalam proses pengecekan,” ujarnya.
Hermawanyah juga menyayangkan persoalan desa justru dikoordinasikan di luar jalur resmi. Ia menilai semestinya mediasi dilakukan terlebih dahulu di tingkat desa agar permasalahan bisa diselesaikan secara mufakat.
Ancaman Hukum Menguat
Seiring berjalannya mediasi, tekanan dari warga untuk membawa kasus ini ke penegak hukum semakin nyata. Ketiadaan bukti penyaluran dana dan indikasi pelanggaran administrasi mulai menimbulkan dugaan pelanggaran hukum, baik dalam ranah pidana maupun administrasi keuangan desa.
Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, melalui Asisten I, menyatakan akan menindaklanjuti hasil mediasi dan merekomendasikan langkah-langkah penyelesaian, termasuk kemungkinan audit terhadap transaksi lahan.
Jika tidak segera ditangani dengan transparansi dan akuntabilitas, kasus lahan 400 hektar ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam tata kelola desa serta hubungan antara pemerintah desa dan masyarakatnya.
Laporan : Tim Liputan
Editor/Gugun












